Minggu, 22 Februari 2009

Membumikan Cybereducation


Abstract: Cybereducation adalah perkembangan terkini dalam menggunakan internet sebagai konsep pendidikan berbasis internet. Fasilitas internet yang banyak digunakan dalam cybereducation antara lain adalah email, milis, situs, chatt, dan lainnya. Mode belajar dalam cybereducation antara lain adalah dengan mengunduh dan mengunggah bahan ke internet serta interaksi komunikatif antara pengguna dengan pengguna dan sumber informasi. Dalam implementasinya terdapat kendala teknis dan psiko-sosial, kendala teknis yang terjadi antara lain adalah bandwith masih sempit, infrasturktur yang belum memadai, content yang masih perlu dikoreksi dan perbaiki, dan minimnya sumberdaya manusia dalam mengaplikasikan cybereducation. Sementara itu dampak psiko-sosialnya antara lain adalah alienasi dari realitas sosial yang menimpa para pengguna internet yang berimbas pada terbentuknya budaya dalam realitas sosial sebagai replikasi budaya dalam dunia maya, yaitu individualisme, instant, ketidakacuhan, dan bahkan juga menyuburkan budaya plagiat. Di sinilah dikemukakan usulan pemecahan masalahnya, yakni dengan mengkaji lebih jauh fenomena cybereducation dari perspektif psiko-sosial dan filosofis-ideologis, di samping itu adalah membumikan atau kontekstualisasi cybereducation dalam konteks sosial dunia ini, agar menghindarkan pengguna cybereducation dari terperangkap dalam cyberworld.

Kata kunci: membumikan, cybereducation, teknis, psiko-sosial,

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan peradaban manusia pada revolusi keempat, yakni revolusi teknologi informasi dan komunikasi. Masyarakat industrialis dan modernis yang memerlukan kecepatan dalam mengolah data, mengirim dan menerima informasi, berkomunikasi dengan cepat, mudah, dan murah, pada awalnya terpenuhi dengan ditemukannya teknologi elektronik radio dan telepon, setelah itu televisi, dan sekarang ini adalah jaringan dunia maya (cyberworld). Di abad teknologi informasi dan komunikasi terjadilah pergeseran ke arah digitalisasi, yang cocok untuk digunakan dalam aplikasi-aplikasi di dunia maya. Cyberworld ini dengan demikian dapat dikatakan sebagai sebuah realitas lain, dunia lain, yang merupakan buatan (artifisial) dan berbeda dari realitas sosial fisik dari dunia ini. Cyberworld membentuk rentangan geografis baru yang lepas dari kategori geografis fisikal, dalam cyberworld terdapat peta-peta baru yang terbentuk dari jaringan situs yang ada. Situs-situs tersebut menampilkan profil institusi dan individu, informasi yang up to date, yang memungkinkan terjadinya interaksi antara satu pengguna situs dengan lainnya dalam cyberworld (Yasraf Amir Piliang, 2004).

Perkembangan cyberworld yang sedemikan pesat pada akhirnya berguna dan diimplementasikan juga dalam dunia pendidikan yang dikenal dalam bentuk on-line learning dan cybereducation. Dalam hal ini on-line learning adalah belajar dan pembelajaran yang berlangsung pada saat menggunakan internet (on line) sedangkan istilah cybereducation merujuk pada dunia cyber, ruang-ruang artifisal, yang dengan demikian secara definitif lebih luas dan mendalam ketimbang on-line learning, yakni pendidikan yang berbasis pada dunia cyber (cybereducation). Munculnya cybereducation ini diharapkan akan dapat membantu dalam mencapai proses dan tujuan pendidikan, yaitu dengan menyediakan fasilitas layanan penyedia informasi terkini dalam berbagai bidang keilmuan, fasilitas interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa lain, bahkan dengan sumber belajar interaktif yang berasal dari seluruh penjuru dunia yang telah terhubung lewat jaringan (internet).

Beberapa fasilitas yang dapat digunakan dalam mendukung proses pendidikan adalah email, situs, milis, chatt, blog, dan lainnya (Bungir Burhan, 2008). Di sini akan dijabarkan sedikit dari perspektif pemanfaatannya. Pertama, situs-situs penyedia informasi yang diperlukan siswa dalam belajar, misalnya di Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pustekkom) Depdiknas membuat situs http://www.e-dukasi.net. Di banyak sekolah dan kampus juga banyak yang telah membuat situsnya, antara lain www.unj.ac.id sebagai situs Universitas Negeri Jakarta, http://www.smpn5-mlg.sch.id untuk SMPN 5 Malang. Salah satu kampus di luar negeri yang juga dapat diakses untuk memperluas informasi dan akses pendidikan dan riset adalah Harvard University, perpustakaan harvar dapat diakses melalui http://lib.harvard.edu, untuk sumber riset dapat diakses di http://eresearch.lib.harvard.edu/V.

Kedua, melalui forum-forum diskusi seperti milis dan lainnya, milis ini bagi pengguna yahoo di antaranya adalah milis beasiswa yang dapat diakses melalui http://groups.yahoo.com/group/beasiswa, milis mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) angkatan 2008 dapat diakses melalui http://groups.yahoo.com/group/tppasca2008/?yguid=191256473, dan lainnya.

Ketiga, melalui chatt dengan berbagai aplikasi, misalnya MiRC, bahkan melalui yahoo, facebook, friendster, dan lainnya juga terdapat aplikasi untuk chatting. Chatting adalah aplikasi untuk berinteraksi, melalui bahasa tulis, bahkan suara dan gambar sebagaimana teleconference. Dari chatt tersebut, dalam pendidikan terjadi interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, dan dengan sumber belajar lainnya, bertanya dan bertukar informasi yang diperlukan dalam pendidikan.

Keempat, melalui situs pribadi yang gratis seperti wordpress dan blogspot yang dapat dibuat oleh siswa dan guru untuk jaringan informasi dan belajar. Misalnya guru membuat blog untuk menyediakan bahan pelajaran yang dapat diakses oleh siswa, termasuk juga fasilitas konsultasi dalam blog tersebut. Siswa pun dapat membuat blog sebagai media untuk menunjukkan penugasan dari guru dan prestasi dirinya. Dari pencarian di internet Prof. Yusufhadi Miarso misalnya, telah memiliki situs pribadi sebagai sarana interaksi dan berkomunikasi yang dapat diakses melalui http://yusufhadi.net.

B. Bentuk Cybereducation dan Beberapa Implikasinya

Dalam cybereducation terdapat beberapa bentuk proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan, antara lain adalah: pertama, mencari dan mengunduh informasi dari situs penyedia informasi yang diperlukan, ini adalah model dasar dalam cybereducation, yakni memanfaatkan sumber-sumber informasi yang terhampar luas di dunia cyber sebagai bahan, informasi, yang mesti dibaca, pelajari, untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Kedua, berkomunikasi interaktif dalam sebuah proses pembelajaran, termasuk tanya-jawab, diskusi, langsung atau tidak langsung. Model ini dilakukan dalam pendidikan formal dan nonformal, yang bertujuan untuk semakin mendalami sebuah materi atau tema tertentu yang dipelajari. Media yang digunakan untuk interaksi misalnya adalah teleconference, milis, blog, chatt, dan lainnya.

Ketiga, sarana mengunggah karya penugasan dalam pembelajaran, dalam institusi pendidikan adalah sebagai sarana penyedia informasi tentang institusi tersebut. Dengan demikian pembelajaran dalam cybereducation tidak sekadar mengunduh bahan-bahan dari dunia maya, tetapi juga mengunggah materi, hal itu sebagai sarana tukar informasi, sharing pengetahuan, diskusi lebih mendalam. Materi yang diunggah dalam pendidikan formal dapat dari penugasan belajar, sedangkan dari sisi guru yang mengunggah materi, maka materi tersebut mestinya dapat sebagai bahan pembelajaran siswa-siswanya.

Implementasi cybereducation tersebut pada akhirnya membawa beberapa perubahan dalam konsep-konsep dan praktik pendidikan dan pembelajaran. Perubahan tersebut antara lain adalah, pertama, dari guru sebagai sumber utama dalam pendidikan dan pembelajaran, menuju pembelajaran berbasis aneka sumber, dalam hal ini adalah internet menyediakan jutaan sumber informasi termutakhir dalam berbagai bidang keilmuan.

Kedua, proses belajar menjadi lebih personal, karena satu siswa relatif menggunakan satu fasilitas komputer untuk terhubung dengan jaringan maya, hingga keinginan mereka dalam belajar sesuai dengan minat dan kemampuan akan terlayani secara personal, di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk belajar bagaimana belajar dan mekanisme belajar mandiri yang bagus, karena guru dan institusi sekolah atau kampus tiada lagi memiliki kontrol maksimal terhadap proses pembelajaran siswa berbasis internet.

Ketiga, hubungan interaksi sosial antara siswa dan guru berubah, hal ini karena relasi dalam pembelajaran yang pada mulanya berlangsung tapa muka langsung, sekarang diperantarai oleh media internet, guru akan lebih banyak memberikan referensi situs yang mesti dikunjungi untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam pembelajaran, sering juga guru kemudian memberikan pelajaran dan kemudian menyuruh siswa mencari sendiri sumbernya di internet, interaksi antara guru dengan siswa menjadi berbeda kalau menggunakan media seperti blog, milis, dan chatt.

Keempat, sekarang terjadi pergeseran ke arah pendidikan berbasis internet (e-learning dan/atau cybereducation) dan administrasi berbasis internet (e-administration), dibuatlah situs-situs pembelajaran, situs-situs penyedia informasi, penyempurnaan desain situs yang menarik dan memenuhi kebutuhan pengguna, hingga menjadi penting dan mementingkan desain media berbasis internet,

C. Beberapa Problem dalam Cybereducation

Implementasi cybereducation pada hakikatnya tidak sekadar membawa dampak positif dalam pendidikan, jika dicermati lebih lanjut ternyata juga berpotensi membawa dampak negatif. Namun sebelum membahas dampak positif dan negatif tersebut, sebenarnya dalam impelementasi cybereducation di Indonesia pun masih terkendala beberapa masalah teknis, antara lain adalah: pertama, untuk implementasi cybereducation di Indonesia dalam bentuk formal melalui Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) masih terkendala dengan bandwitch yang tidak seberapa besar, hingga layanan interaksi dan komunikasi terkadang dalam jam-jam sibuk menjadi sangat lambat, sementara itu untuk intranet yang juga diprogramkan dalam Jardiknas belum dapat dioptimalkan penggunaannya.

Kedua, content atau isi dari situs-situs penyedia bahan pembelajaran belum memadai, tidak sekadar materi yang dibutuhkan belum tersedia dalam situs-situs yang berbahasa Indonesia, lebih dari itu substansi materi juga seringkali tidak seusai dengan perkembangan keilmuan, hal ini terdapat misalnya situs resmi www.e-dukasi.net milik Pustekkom Depdiknas. Beberapa situs milik sekolah dan kampus juga belum banyak dikembangkan sebagai sumber belajar secara optimal, mereka sekadar sebagai situs untuk memberikan informasi tentang kampus, belum banyak yang menyediakan materi sumber belajar yang memadai. Mungkin paling optimal untuk sekarang adalah untuk sarana komunikasi, informasi, dan administrasi misalnya registrasi mahasiswa baru via internet. Mungkin yang sudah memadai sebagai penyedia sumber belajar adalah situs yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka (UT) yang memang mesti didesain sebagai sumber belajar untuk mereka yang belajar jarak jauh (distance learning) yang salah satunya adalah dengan memanfaatkan internet.

Ketiga, sumberdaya manusia yang memanfaatkan jaringan internet belum memadai. Hal ini ditunjukkan dari masih rendahnya kemampuan guru dan dosen dalam memanfaatkan internet dalam memperlancar proses pembelajaran, terlebih di jenjang sekolah dasar yang tidak memiliki tenaga khusus bidang information technology (IT) tentu akan kesulitan dalam mengimplementasikan cybereducation ini. Tidak hanya itu, problem pada item kedua di depan agaknya juga disebabkan salah satunya oleh masih minimnya sumberdaya manusia dalam bidang IT ini yang mampu mendesain situs yang memadai untuk tujuan pendidikan dan pembelajaran, termasuk juga mengolah content situs tersebut yang tentunya membutuhkan para pakar di bidang keilmuannya masing-masing.

Keempat, implementasi cybereducation ini mengalami kendala pada daerah-daerah terpencil, di mana fasilitas-fasilitas untuk penangkap sinyal dan jaringan internet masih minim. Di sinilah diperlukan pembangunan infrastruktur yang memadai di daerah-daerah tersebut, ini adalah tugas pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) dalam rangka membantu dunia pendidikan dan lainnya, sedangkan dari bidang pendidikan sekadar mengolah dan memanfaatkan infrastruktur tersebut dalam konsep cybereducaton.

Di samping problem teknis tersebut, juga terdapat dampak psiko-sosial yang terjadi sebagai akibat dari implementasi cybereducation, antara lain adalah, pertama, terdapat potensi terjadinya alienasi antara pengguna internet yang sudah masuk dalam cyberworld dengan dengan realworld, dunia ini. Ketika seseorang menjadi pengguna internet (netter) dan mereka masuk dalam cyberworld, maka mereka pada hakikatnya telah lahir dan membentuk identitas lain di dunia maya, mereka membentuk komunitas, relasi sosial, tatanan sosial, yang lepas dari hukum fisika Newton, dan dengan demikian sama sekali berbeda dari bentuk komunitas, relasi sosial, tatanan sosial yang ada dalam alam fisik ini (Yasraf Amir Piliang, 2004).

Hal yang sama telah terjadi dalam ikatan antara seorang pemirsa televisi dengan tayangan televisi, yakni bagaimana ia kemudian meniru dan mengikuti apa yang ditayangkan oleh televisi. Dalam cyberworld, yang terjadi tidak sekadar peniruan budaya dan perilaku, lebih dari itu adalah membuat ruang-ruang sosial baru di dunia cyber, yang bahkan pada titik paling ekstrim tidak berhubungan dengan ruang-ruang sosial di dunia ini, dalam istilahnya Jean Baudrillard adalah simulakra, petanda yang tiada punya rujukan penandanya (Richard J. Lane, 2000). Fenomena tersebut secara psikologis kemudian menjadikan seseorang terasing (alienated) dari dunia sosial riil ini, terikat dan kecanduan pada dunia cyber. Di sinilah imbas modernisme berupa individualisme, ketidakacuhan, oportunisme kian dikukuhkan oleh adanya cyberworld.

Dalam dunia pendidikan hal ini berpotensi juga mengukuhkan individualisme siswa dan menumpulkan sensitivitas sosialnya. Siswa terperangkap dalam fantasi-fantasi dunia maya, dan dalam banyak hal fantasi tersebut mereka terapkan dalam keseharian, misalnya keniscayaan kecepatan dunia maya, interaksi cyberculutre seperti mereka dapat berteman dengan siapa saja, berperan sebagai apa saja, menjalin hubungan dalam sekejap dan memutusnya dalam sekejap, relasi tanpa basa-basi dalam chatt, dan lainnya. Ironis sekali kalau cyberculture tersebut dibumikan dalam relasi keseharian, dalam socialculture konteks keseharian, hingga siswa bisa menjadi apa saja, menginginkan kecepatan, instanitas, tiada sopan-santun basa-basi, dan lainnya.

Kedua, berseraknya informasi dalam cyberworld memungkinkan semua orang bisa mengakses semua informasi dengan mudah, dan dengan minimnya kreatifitas pengguna atau pengunduh, lekatnya nalar instant menjadikan semakin subur budaya plagiat. Siswa dengan muda mengunduh informasi dari situs tertentu, bahkan seringkali dari situs-situs penyedia paper, makalah, presentasi power point. Modus yang dilakukan biasanya merek tinggal mengganti judul, mengganti nama pembuat karya, mengganti tanggal dan tempat, dan sedikit ditambah ini-itu, maka jadilah karya plagiat oleh siswa-siswa “kreatif” tersebut.

Ketiga, di dunia maya tidak hanya terdapat informasi yang bagus sebagai penunjang pembelajaran yang positif, tapi juga terdapat banyak informasi yang tidak benar, kebohongan publik yang mudah diunggah dan disebar di internet, bahkan gambar dan video mesum pun akan dengan mudah ditemukan di internet, semua sampah-sampah tersebut berpotensi mengganggu proses pembelajaran berbasis cybereducation. Paling parah adalah ketika para siswa mengiyakan apa yang mereka temukan (sampah-sampah internet [hoax]) tersebut dan kemudian memuaskan kepenasaranan mereka dengan mencarinya di dunia riil ini.

D. Beberapa Kritik dan Saran

Berdasarkan dari analisis yang telah dilakukan di depan maka mestinya dilakukan dalam implementasi cybereducation, terlebih di Indonesia khususnya adalah membumikan cybereducation. Makna membumikan di sini tidak sekadar mengimplementasikan cybereducation saja, lebih dari itu adalah membenahi secara komprehensif beberapa kendala dan potensi problem yang timbul dari implementasi cybereducation. Berdasarkan dari kendala teknis sebagaimana dikemukakan di depan, maka perlu untuk semakin diperluasnya bandwith dalam sistem Jardiknas agar dapat lebih dapat diakses cepat, membangun lebih banyak lagi tiang pancang untuk penerima sinyal jaringan internet dan intranet, memberbaiki content situs-situs penyedia informasi di Indonesia, meningkatkan sumberdaya manusia dalam cybereducation.

Sementara itu dilihat dari dampak psiko-sosial dalam bentuk timbulnya budaya-budaya baru baik di dunia cyber maupun yang berimbas pada dunia nyata, perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif psiko-sosial, bahkan menggali lebih dalam sampai pada kajian filosofis dan kritik ideologi. Kajian-kajian untuk mengetahui dampak psiko-sosial tersebut mesti mendasarkan pada paradigma keilmuan psiko-sosial kontemporer seperti posmodernisme, post-posmodernisme, feminisme, post-feminisme, post-strukturalisme, konstruktivisme, hermeneutik, fenomenologis, dan teori-teori sosial kritis lainnya. Hal itu karena cybereducation hadir dalam era kontemporer yang, produk dari cita-cita modernisme namun menimbulkan beberapa masalah sebagaimana dikemukakan di akhir bahasan di depan, dalam hal ini paradigma keilmuan yang dapat lebih tepat dan relevan sebagai pisau analisis dalam mengungkap cybereducation adalah paradigma yang memiliki dimensi psiko-sosial, yang mampu menangkap jalin kelindan antara produk teknologi dengan dimensi psiko-sosial, bahkan ruh ideologis-filosofis yang berada di baliknya, di sinilah paradigma yang paling relevan adalah paradigma post-positivistik seperti posmodernisme, post-posmodernisme, feminisme, post-feminisme, post-strukturalisme, interpretatif, hermeneutik, konstruktivisme, fenomenologis, teori-teori sosial kritis, dan lainnya (David H. Jonassen, 1996; Miarso, 2007).

Dari kajian-kajian tersebut diharapkan akan dapat dirumuskan strategi penanganan masalahnya secata tepat, satu tesis yang diajukan dalam menangani masalah tersebut di sini adalah kontekstualisasi (membumikan) cybereducation, jadi bagaimana agar siswa, guru, dosen, dan proses pembelajaran tidak terperangkap dalam cyberworld. Bagaimana mereka diupayakan untuk terus memiliki kesadaran kritis hingga dapat membedakan antara hidup di cyberworld dan hidup di dunia sosial riil ini, tidak teperdaya oleh fantasi-fantasi cyberworld, dan tetap mengasah sensitivitas sosial siswa, guru, dosen dan pengguna internet dalam implementasi cybereducation.

Edi Subkhan, penulis...

E. Referensi

Burhan, Bungir, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta, Prenada Media Group, 2008.

Jonassen, David H (ed.), Handbook of Research for Educational Communications and Technology, New York, Simon & Schuster Macmillan, 1996.

Lane, Richard J, Routledge Critical Thinker: Essential Guides for Literary Studies, Jean Baudrillard, London, Routledge, 2000.

Miarso, Yusufhadi, Menyebar Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta, Prenada Media Group dan Pustekkom Depdiknas, 2007.

Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta, Jalasutra, 2004.

Referensi situs internet

http://eresearch.lib.harvard.edu/V.

http://lib.harvard.edu,

http://yusufhadi.net/

http://www.e-dukasi.net

http://smpn5-mlg.sch.id

http://www.unj.ac.id

http://groups.yahoo.com/group/beasiswa/

http://groups.yahoo.com/tppasca2--8/?yguid=191256473