Selasa, 20 Januari 2009

Mempertanyakan Kajian Post-Positivisme Teknologi Pendidikan


Sampai sekarang kajian teknologi pendidikan tidak banyak dikaji secara mendalam sampai pada pokok, substansi, atau akar filosofis-ideologisnya, sedangkan menuju pada kajian yang mendalam tersebut mestinya terdapat kajian antara dari sisi sosio, historis, kultur, politik, yang pada kenyataannya juga tidak banyak, dan kalaupun ada relatif tidak mendalam, sekadar analisis pada masalah-masalah permukaan saja.
Diskursus dalam teknologi pendidikan agaknya selama ini masih didominasi oleh paradigma positivis-modernis yang lebih banyak mempermasalahkan dan mengembangakn definisi dan kawasan teknologi pendidikan. Pada akhirnya memang di dalam impelentasinya di lapangan, teknologi pendidikan sekadar berkutat dalam masalah-masalah teori dan praktek –yang tentu masih didominasi paradigma positivis tadi- dalam mendesain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian proses dan sumber untuk keperluan belajar.[1] Sejauh penelusuran peneliti agaknya belum banyak kajian filosofis dan ideologis teknologi pendidikan.

Beberapa upaya untuk mengkaji teknologi pendidikan dari berbagai perspektif keilmuan, termasuk menyentuh ranah ideologi dan filosofi telah dilakukan oleh beberapa pemikir dan teknolog pendidikan. Namun karena paradigma yang dominan dan seakan menjadi fitrah dari teknologi pendidikan adalah positivis, maka perkembangan kajian teknologi pendidikan dari berbagai perspektif selain dari perspektif positivis, yaitu dari post-positivis, post-strukturalist, post-modernism, termasuk di dalamnya dekonstruksionisme, analisis diskursus Foucauldian, tidak banyak berkembang. Kalaupun ada ia seakan menjadi kajian dan karya pinggiran, marjinal, sebagai representasi ”liyan” (the others) dalam kajian teknologi pendidikan yang hampir sepenuhnya positivis-modernis. Dekonstruksionisme misalnya telah muncul dalam literatur teknologi pendidikan beberapa tahun terakhir ini.

Yeaman (1994) telah menuliskan dampak dari dekonstruksi dalam teknologi pendidikan. Hlynka (1989, 1991, 1992) juga telah menuliskan beberapa panduan untuk dekonstruksionis. Curtis (1988) telah mendekonstruksi pernyataan visual ketika Magnusson dan Osborne (1990) telah menyajikan dan tertarik pada bacaan-bacaan dekonstruksionis terutama dari konsep pembelajaran berbasis modul. Suchting (1992) juga telah menyajikan dekonstruksi yang cukup hati-hati dari konsepsi berpikir konstruktivis. Analisis Foucauldian sebenarnya juga telah muncul dalam beberapa penelitian teknologi pendidikan. Damarrin (1991) misalnya, telah menggabungkan teori feminis dan teori Foucault ketika McBride telah menyajikan analisis Foucauldian yang sangat berguna untuk diskursus matematika di dalam kelas. Taylor dan Swartz (1991) juga telah mendiskusikan pencabangan dalam teknologi pendidikan kepada pernyataan post-positivis, yaitu ”ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai”.[2]

Kajian-kajian tersebut pada dasarnya telah mencoba untuk mengangkat permasalahan ideologis dan filosofis dalam teknologi pendidikan dengan berbagai perangkat teori-teori sosial kritis-posmodernis. Pada dasarnya upaya tersebut berangkat dari kegelisahan dan permasalahan yang timbul dari penerapan teknologi pendidikan yang selama ini didominasi oleh paradigma positivis-modernis dalam berbagai kasus justru menimbulkan masalah, sebagaimana penerapan dan perkembangan teknologi di dunia industri yang menyebabkan berbagai masalah kemanusiaan. Oleh karena itu diperlukan kajian-kajian dari paradigma lain, yaitu paradigma lain termasuk yang bertentangan dengan paradigma positivis-modernis, antara lain adalah paradigma kritis, feminis, posmodernis, dan lainnya.

Yusufhadi Miarso dalam hal ini menyatakan bahwa teknologi pendidikan mestinya tidak hanya didekati dari paradigma positivis saja, paradigma post-positivistik justru mestinya mendapat perhatian lebih besar dari para teknolog pendidikan yang bermaksud untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk yang unik. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa teknologi pendidikan hanya dapat diakui sebagai disiplin keilmuan apabila memberikan kemungkinan untuk dilakukannya berbagai macam penelitian yang diselenggarakan dengan pendekatan yang bervariasi sesuai dengan perrkembangan paradigma penelitian –dan/atau keilmuan- yang berkembang. Hasil penelitian tersebut akan menunjang dan memperkokoh teknologi pendidikan sebagai disiplin kelimuan humaniora yang tidak bebas nilai.[3]

Edi Subkhan, penulis...

[1] Seels, Barbara B & Rita C. Richey, Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya, terj. Dewi S. Prawiradilaga, Raphael Rahardjo, dan Yusufhadi Miarso, Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI) bekerjasama denagn Lembaga Pengembangan Teknologi Kinerja (LPTK), Jakarta, 1994 (tahun terbit buku aslinya, sedangkan buku terjemahannya tidak terdapat tahun terbit resminya).
[2] Hlynka, Denis, “Postmodernism”, dalam Jonassen, D.H. (ed), Handbook of Research on Educational Technology, Scholastic Publishing Company, New York, 1994.
[3] Miarso, Yusufhadi, Menyebar Benih Teknologi Pendidikan, Prenada Media Group dan Pustekkom Depdiknas, Jakarta, 2007, hlm. 208-217.

Senin, 19 Januari 2009

Metafisika dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan


“Filsafat, betapapun spekulatifnya, memberi kita berbagai penjelasan tentang misteri puncak (the ultimate mystery) ini. Filsafat ... mengajari kita tentang proses penciptaan, tentang hierarki wujud (hierarchy of being), tentang alam semesta dan posisi manusia di dalamnya, tentang tujuan-hidupnya, dan berbagai pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini”

Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, Mizan, Jakarta, 2005, hlm. 72.

Tentang Metafisika

Seringkali ketika mendengarkan istilah “metafisika” sudah terdapat dalam persepsi awal kita mengenai hal-hal yang bersifat supranatural seperti ilmu-ilmu perdukunan dan mental-spiritual. Persepsi tersebut sebenarnya tidak dapat disalahkan, karena dalam arena perebutan makna sebuah istilah, maka sebuah istilah –termasuk “metafisika”- seiring perubahan waktu dalam konteks sosio-historis jelas mengalami pergeseran makna yang digunakan oleh masyarakat, terutama masyarakat awam. Memang hal-hal supranatural juga termasuk atau tercakup dalam “definisi” metafisika, namun metafisika tidak dapat diartikan sepenuhnya adalah mengenai supranatural, kian lama agaknya definisi metafisika tidak menunjuk pada objek definitif yang diwakilinya. Hal yang sama seperti ketika sekarang dalam mempelajari filsafat lebih familiar diketahui adanya ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai “batang tubuh” atau elemen-elemen fundamental kajian filsafat, dan seakan melupakan metafisika. Lalu apa sebenarnya metafisika, di mana posisinya dalam filsafat, dan apa kegunaannya?

Pada mulanya istilah “metafisika” digunakan di Yunani untuk merujuk pada karya-karya tertentu Aristoteles (384-322 SM). Namun sebenarnya istilah “metafisika” bukanlah dari Aristoteles, “metafisika” oleh Aristoteles disebut sebagai “filsafat pertama” atau “theologia”, dalam pandangan Aristoteles, metafisika belum begitu jelas dibedakan dengan fisika.[1] Secara etimologis, “metafisika” berasal dari bahasa Yunani, meta ta fisika yang artinya menurut Louis O. Katsoff adalah “hal-hal yang terdapat sesudah fisika”.[2] Aristoteles mendefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang-ada sebagai yang-ada, yang dilawankan misalnya dengan yang-ada sebagai yang-digerakkan atau yang-ada sebagai yang-jumlahkan.[3] Pada masa sekarang, metafisika dipahami sebagai bagian dari filsafat yang mempelajari dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan terdalam tentang hakikat segala sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut membahas dan tertuju pada beberapa konsep metafisik, dengan kata lain yang lebih tepat agaknya adalah, konsep-konsep di luar hal-hal yang bersifat fisik

Menurut Cristian Wolf (1679-1754), metafisika terbagi menjadi dua jenis. Pertama, metafisika generalis, yakni ilmu yang membahas mengenai yang ada atau pengada atau yang lebih dikenal sebagai ontologi, dan kedua, metafisika spesialis yang terbagi menjadi tiga bagian besar, (1) antropologi, yang menelaah mengenai hakikat manusia, tentang diri dan kedirian, tentang hubungan jiwa dan raga, (2) kosmologi, yang membahas asal-usul alam semesta dan hakikat sebenarnya, dan (3) teologi, membahas mengenai Tuhan secara rasional. Sementara itu Driyarkara menyamakan metafisika dengan ontologi, ia menyatakan bahwa filsafat tentang ada dan sebab-sebab pertama adalah metafisika atau ontologi, yang di samping membahas tentang ada dan sebab-sebab pertama tersebut, juga membahas mengenai apakah kesempurnaan itu, apakah tujuan, apakah sebab-akibat, apa yang merupakan dasar yang terdalam dalam setiap barang yang ada (hylemorfism), intinya adalah, apakah hakikat dari segala sesuatu itu.[4]

Bahasan yang terdapat dalam metafisika secara umum antara lain meliputi, (1) yang-ada (being), (2) kenyataan (reality), (3) eksistensi (existence), (4) esensi (essence), (5) substansi (substance), (6) materi (matter), (7) bentuk (form), (8) perubahan (change), (9) sebab-akibat (causality), dan (10) hubungan (relation).[5] Salah satu contoh penalaran metafisika tentang Ada adalah yang pernah dilakukan oleh Plotinos sebagai seorang neo-platonis yang diperkirakan lahir di Mesir pada 204 atau 205 SM, dan hampir semua pengetahuan para filsuf tentang kehidupan dan pemikiran Plotinos didapatkan dari buku Vita Plotini yang ditulis oleh Porphyrius, salah seorang muridnya (232-305 SM).[6] Menurut Plotinos, suatu Ada yang sempurna itu tentu mewahyukan atau menyatakan dirinya sendiri dengan melahirkan Ada yang mirip kepadanya. Dalam pandangan ini seluruh kosmos atau semesta alam harus dipandang sebagai rantai, di mana bagian yang atas (lebih sempurna) melahirkan bagian bawahnya yang kalah sempurna. Yang berada paling atas adalah Hyang Eka, Yang Satu dan Satu-satunya, yang oleh Plotinos juga disebut “Kebaikan yang mutlak” dan “kebaikan yang memberi kebaikan kepada yang lain sebagai bagian”. Hyang Eka itu kemudian dipahami dan diyakini sebagai sesuatu yang menjadi dasar segala-galanya, tetapi tidak berdasar sendiri atas apapun juga.[7] Dalam penalaran Plotinos mengenai Ada (being) tersebut dapat dilihat bersentuhan juga dengan bahasan teologi, yang membahas Tuhan secara rasional (walaupun spekulatif).

Misal lainnya adalah perbincangan mengenai kenyataan (reality). Ketika pertanyaan mengenai hakikat terdalam dari kenyataan diajukan, maka muncul berbagai jawaban atasnya. Louis O. Kattsof (1996) dengan menyatakan terdapat beberapa aliran, antara lain adalah: pertama, realisme. Ia menyatakan bahwa terdapat hal-hal yang tidak bergantung pada pengetahuan dan bahwa hakikat hal-hal tersebut berbeda dari akal yang mengetahuinya, dengan kata lain alam di luar ide atau pengetahuan akal adalah hakikat kenyataan (reality). Realisme berkebalikan dengan idealisme, Kattsof (1996) menyatakan, terdapat hal-hal yang bereksistensi secara intrinsik berhubungan dengan perbuatan mengetahui, dan dalam babak terakhir sama hakikatnya dengan roh.[8] Jadi, misalnya, apakah sebuah meja yang ada di dalam kelas itu jelek atau tidak tergantung dari ide, persepsi, pengetahuan, akal kita dalam mengetahui meja tersebut, ini adalah pandangan idealisme yang sebetulnya lebih tepat disebut ideisme, namun terasa janggal. Sementara realisme menyatakan, jelek atau tidaknya meja di dalam kelas itu tidak tergantung pada pengetahuan kita atasnya, namun tergantung pada kenyataan atau realitas dirinya sendiri.

Kedua, naturalisme. William R. Dennes (1944) menyatakan bahwa naturalisme –modern- menyatakan bahwa hakikat kenyataan adalah bersifat kealaman, kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan adalah kejadian.[9] Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa. Secara umum, naturalisme menyatakan alam ini adalah hakikat terdalam dari kenyataan. Di titik singgung inilah naturalisme yang menegaskan dunia-ini (alam kodrati) dilawankan dengan supernaturalisme yang menegaskan bahwa hakikat kenyataan yang sebenarnya adalah dunia-lain (adi kodrati). Supernaturalisme menganggap bahwa dunia-lain lebih tinggi dan berkuasa dibandingkan dunia-ini.

Animisne adalah salah satu contoh dari pemikiransupernaturalisme yang paling tua. Sementara itu dari rahim pandangan naturalisme lahirlah materialisme yang menganggap bahwa roh berasal dari materi, kaum materialisme menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui. Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam adalah atom. Democritos dengan demikian membedakan dirinya dari realisme dengan mengatakan bahwa obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindra. Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika. Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.

Metafisika dan Ilmu Pengetahaun

Metafisika ternyata mendapat penetangan dari beberapa ilmuwan, antara lain adalah yang menganut paham positivisme logis dengan menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna. Alfred J. Ayer menyatakan bahwas sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filsuf sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya. Problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu (pseudo-problems), artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab.[10] Berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut, Katsoff menyatakan bahwa agaknya Ayer berupaya untuk menunjukkan bahwa natutalisme, materialisme, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Ayer menunjang argumentasinya dengan membuat criterion of verifiability atau keadaan dapat diverifikasi. Penentang lain Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwa metafisika bersifat the Mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan (inexpressible) ke dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstein menyatakan terdapat tiga persoalan metafisika, (1) subjek, dikatakannya bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia, (2) kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman kematian, dan (3) Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia. Dengan demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja” (What we cannot speak about, we must pass over in silence).

Namun pada kenyataannya banyak ilmuawan besar, terutama Albert Einstein, yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya. Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas Kuhn terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, yakni ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika. Misalnya adalah, upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh paradigma keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu memecahkan masalah membutuhkan paradigma baru, pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil permenungan metafisik yang dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intutitif, hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan (peluang-peluang) konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis, dan paradigma baru untuk memecahkan masalah yang ada.[11]

Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada fundamental ontologisnya. Sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan adalah persinggungan antara metafisika dan/atau ontologi dengan epistemologi. Dalam metafisika yang mempertanyakan, “apakah hakikat terdalam dari kenyataan?” yang di antaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka muncullah paham materialisme. Sedangkan dalam epistemologi yang dimulai dari pertanyaan, “bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?”, yang dijawab salah satunya oleh Descartes, bahwa kita memperoleh pengetahuan melalui akal, maka muncullah rasionalisme. John Locke yang menjawab pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme, dan lainnya. Berbagai perdebatan dalam metafisika mengenai realitas, ada-tiada, dan lainnya sebagaimana telah dikemukakan di depan yang telah melahirkan berbagai pandangan yang berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran pemahaman yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal. Ketika pemahaman aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistemologis atau dihadapkan pada fenomena dinamika perkembangan ilmu pengetahuan akan menghasilkan percabangan disiplin ilmu baru (Kennick).

Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan mencipatakn terminologi filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang brersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu (need for curiosity) yang tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (first principle) sebagai kebenaran yang paling akhir, misalnya adalah kepastian ilmiah dalam metode skeptis Descartes, ia hanya dapat diperoleh jika kita bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito Ergo Sum).

Salah satu contoh sebuah karya yang mendasarkan pendapatnya dengan terlebih dahulu melalui penalaran metafisis adalah bukunya Yasraf Amir Piliang (2004), ia menyatakan, bahwa yang dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosial-budaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper, yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan kebudayaan sekarang menuju pada kondisi hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana bertumbuh ke arah ekstrim. [12]

Yasraf menyatakan bahwa dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan; kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos; dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama, bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusan-keputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua, tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara. Ekonomi pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya, kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek kebudayaan.[13] Pendapat Yasraf tersebut didahului oleh penalaran metafisis atas realitas.

Edi Subkhan, penulis...


[1] Baca lebih lengkap Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya., suntingan A. Sudiarja, SJ, G, Budi Subanar, SJ, St. Sunardi, dan T. Sarkim, yang diterbitkan kerjasama Kanisius dengan penerbit Kompas dan Gramedia tahun 2006, hlm. 1177-1118.
[2] Penulis cenderung berpendapat bahwa arti dari metafisika bukanlah sesudah fisik melainkan di luar fisik, kata sesudah dalam diskursus filosofis lebih agaknya lebih dapat diwakili oleh kata pasca atau post. Dalam perkembangan diskursus teori-teori sosial misalnya dikenal konpsepsi posmodernisme sebagai lawan dari modernisme, posmodernisme dalam hal itu dimaknai sebagai setelah/sesudah modernisme dengan maknanya yang sangat bervariasi tergantung merujuk pada konsepsi posmodernisme siapa.
[3] Lebih lenmgkapnya dapat dibaca Louis O. Katsoff. 1996. Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 74.
[4] Baca lebih lengkap Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya., suntingan A. Sudiarja, SJ, G, Budi Subanar, SJ, St. Sunardi, dan T. Sarkim, yang diterbitkan kerjasama Kanisius dengan penerbit Kompas dan Gramedia tahun 2006, hlm. 1019-1020.
[5] Louis O. Katsoff., op cit.
[6] Ibid., hlm. 1255.
[7] Ibid., hlm. 1231-1232.
[8] Ibid., hlm. 108.
[9] Libeh lanjut silakan baca William R. Dennes. 1944. “The Categories pf Naturalism” dalam Y.H. Krikorian (ed.), Naturalism and the Human Spirit. New York: Columbia University Press, bab XII.
[10] Lebih lanjut silakan baca Alfred J. Ayer. 1936. Language, Truth and Logic. New York: Oxford University Press.
[11] Khusus mengenai asumsi dan peluang (kemungkinan) dijelaskan pada bahasan selanjutnya dalam paper ini.
[12] Lebih lengkapnya baca Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
[13] Ibid., hlm. 261-269.

Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika





“Bila di dalam ketelanjangan dan kecabulan media, tak ada lagi batas antara baik/buruk, benar/salah, asli/palsu, realitas/fantasi, maka yang terjadi
adalah semacam kematian budaya (death of culture).”
Yasraf Amir Piliang (2004)


Adalah Yasraf Amir Piliang saya kira orang yang paling dapat dikatakan sebagai juru bicara posmodernisme di Indonesia, terutama dalam mengartikulasikan konsepsi teoritis Jean Baudrillard –walaupun dalam salah satu ulasannya di Dunia yang Dilipat , Yasraf menyatakan bahwa Baudrillard tidak termasuk pemikir posmo- konsepsi semiotik-hipersemiotik, dan lainnya. Satu bukunya yang menukik pada kedalaman permenungan filosofis atas realitas kebudayaan kontemporer adalah Posrealitas: Relitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, terbitan Jalasutra, Yogyakarta, 2004. Buku tersebut dibagi menjadi empat bagian besar, bagian I membincangkan pososial, bagian II tentang poshororisme, bagian III posdemokrasi, dan bagian IV posmoralitas. Dalam analisis buku ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membahas semua isi buku ini, namun hanya pada beberapa bagian dari buku saja, terutama pada beberapa istilah kunci dn yang relatif relevan dengan peristiwa kekinian. Buku-buku Yasraf memang sangat padat hingga tidak mudah disarikan substansinya, karena tiap paragraf seakan sudah merupakan substansi itu sendiri, yang masih dapat lebih dijabarkan berlembar-lembar lagi.

Yasraf menyatakan bahwa telah terjadi perubahan besar pada awal milenium ketiga, yaitu terbentuknya sebuah dunia baru sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang di dalamnya tercipta berbagai definisi dan pemahaman baru mengenai apa yang disebut realitas. Nah, dalam realitas baru tersebut, tanda tidak lagi merefleksikan realitas, representasi tidak lagi berkaitan dengan kebenaran, informasi tidak lagi mengandung objektivitas pengetahuan. Dunia baru tersebut, sebaliknya adalah dunia yang dibangun oleh berbagai bentuk distorsi realitas, permainan bebas tanda, penyimpangan makna, dan kesemuan makna. Realitas baru itulah yang pada dasarnya lebih tepat dikatakan sebagai kondisi posrealitas (post-reality). Kondisi posrealitas adalah sebuah kondisi, yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas itu sendiri telah dilampaui, atau diambil alih oleh penggantinya, yang diciptakan secara artifisial via ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang telah menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang apa yang disebut sebagai yang nyata (the real).

Sementara itu posmetafisika merupakan penjelasan dari proses akhir dari metafisika, yang di dalamnya inheren dengan pengertian posrealitas, dalam pengertian akhir dari realitas sebagai konsekuensi berakhirnya metafisika. Yasraf menyatakan bahwa konsep berakhirnya metafisika tak dapat dilepaskan dari Heidegger yang memang telah memproklamasikan matinya metafisika. Namun, matinya metafisika bukan sama sekali mati, melainkan telah sampai pada energi paling akhir. Dalam relasinya dengan dunia realitas bentukannya, posrealitas adalah kondisi ketika dunia realitas dan potret dunia yang dibentuk berdasarkan klaim-klaim kebenaran metafisika telah mengalami kemunduran, yang membuka peluang bagi terbentuknya realitas-realitas baru, berdasarkan potret baru dunia, yang dibentuk di atas klaim posmetafisika. Akhir dunia metafiska, menurut Heidegger, dimulai ketika klaim ontologi yang menjadi fondasi dunia realitas mengalami kemerosotan. Di dalam kemerosotan itu, dunia realitas tidak lagi menggantungkan pembentukan dirinya pada mode-model kebenaran metafisis tersebut, yaitu pada logos, oidos, substansi, esensi, Tuhan. Meskipun demikian, pembangunan yang nyata (eksis) tidak diserahkan sepenuhnya pada hasrat atau kehendak, sebagaimana yang disarankan Nietszche dan para pendukung post-strukturalisnya, melainkan pada apa yang disebut Heidegger sebagai Yang Ada (Being), yang ditafsirkan dengan tafsiran baru.

Posrealitas ini juga didefinisikan sebagai semacam pembalikan dunia realitas Platonisme, yaitu dengan memandang dunia penampakan (appearance) yang bersifat mengindra (sensous) sebagai dunia realitas sejati (true reality); sementara dunia oidos yang bersifat melampaui indra (suprasensous) sebagai realitas palsu. Akan tetapi, sebagaimana diperlihatkan oleh Deleuze, Guattari, Lyotard, Foucault, dan Baudrillard, fondasi dari dunia penampakan itu telah beralih pada hasrat dan kehendak (kekuasaan), yang menggiring dunia realitas ke dalam apa yang dikatakan Heidegger sebelum ini sebagai dunia yang dikuasai oleh ontologi citraan atau abad potret dunia, disebabkan logika di balik citraan itu sendiri adalah logika hasrat dan logika kehendak –sebuah dunia realitas yang tentunya tidak seperti yang dibayangkan Heidegger sendiri. Dalam hal ini Heidegger melihat berakhirnya metafisika sebagai permulaan kebangkitan kembali metafisika dalam wujud barunya, wujud ini mengarah pada metafisika yang sesungguhnya, yang menghasilkan pengetahuan yang baru. Menurut Flynn, kencenderungan posmetafisika dalam pengertian kebangkitan ini tampak pada pemikir seperti Marx, Habermas, Foucault, dan mungkin juga Derrida. Foucault misalnya, menyatakan bahwa beroperasinya metafisikan bukan dalam pengertian bahwa ia menembus penampakan untuk sampai pada supersensibel, melainkan sebaliknya, bahwa konsep kekuasaan itu diklaim dapat menembus ke balik dunia penampakan sampai pada kondisi eksistensinya yang nyata (tubuh nyata). Artinya, di balik sebuah tubuh yang nyata beroperasi sebuah kekuasaan tak tampak (yang dengan sendirinya bersifat metafisis).

Dalam hal ini Yasraf menyatakan bahwa Arendt, Marleau Ponty, dan Lefort, mungkin juga Deleuze, Guattari, Lyotard, Baudrillard, dan Rorty dapat dikatakan berada pada kategori mereka yang mendukung matinya metafisika (death of metaphysics). Rorty misalnya menyatakan penolakannya yang eksplisit terhadap segala sesuatu yang disebut sebagai fondasi (anti-fondational), termasuk metafisika sebagai penjelajahan terhadap fondasi kebenaran dari realitas. Lewat filsafat pragmatisme, ia mengembangkan sebuah kecenderungan pemikiran yang antimetafisika. Banyak label yang diberikan untuk menjelaskan kecenderungan antimetafisika ini, di antaranya adalah pragmatisme, eksistensialisme, dekonstruktivisme, holisme, filsafat proses, postrukturalisme, posmodernisme, Wittgensteinianisme, antirealisme, dan hermeneutika. Sedangkan bagi Baudrillard, era matinya metafisika sekarang ini menjadikan kita berada dalam era posrealitas, yaitu era simulasi realitas (simulation). Di sinilah Baudrillard mengungkapkan tentang patafisika, yakni versi tak lazim dari metafisika, yang di dalamnya, baik yang metafisis (Tuhan, Kesadaran, Kebajikan, Spirit) maupun yang nonmetafisis (mimpi, ilusi, halusinasi), diobjektivikasikan dalam pengertiannya yang khusus, yaitu mentransformasikan sifat ketidakberwujudannya (immaterial) ke dalam wujud-wujud faktual (meskipun belum tentu real), yaitu ke dalam ontologi cintra itu sendiri.

Dalam kondisi melampaui realitas (hyper/past-reality) inilah juga terdapat berbagai fenomena pelampauan lainnya, antara lain adalah pososial (post-social), yaitu ruang sosial yang di dalamnya berbagai prinsip, model, atau bentuk, aktivitas sosial telah melampaui prinsip, model dan bentuk aktivitas-aktivitas yang natural, yang kini diambil alih oleh wujud artifisial dan virtualnya. Relasi dari komunikasi sosial tatap muka (face to face communication) digantikan oleh bentuk-bentuk komunikasi yang dimediasi oleh media seperti handphone, internet, dan lainnya, yang pada akhirnya menciptakan masyarakat informasi global (global information society), di dalamnya setiap relasi sosial berlangsung secara artifisial, mengambil alih relasi sosial yang natural. Realitas inilah yang menciptakan komunitas virtual (virtual community) yang juga merupakan komunitas imajiner (imagined community). Di dalam komunitas imajiner inilah terjadi simulakra sosial yang merupakan duplikasi sosial di dunia nyata, akan tetapi dalam wujudnya yang menyimpang dan terdistorsi, yang di dalamnya berlangsung berbagai bentuk reduksionisme, penyederhanaan, generalisasi, dan manipulasi sosial. Realitas sosial yang melampaui (post-social) ini tidak dapat lagi dinilai berdasarkan logika (rasionalitas, moralitas) yang ada dalam konteks realitas sosial yang sesungguhnya, melainkan berdasarkan logika simulasi media, dengan berbagai trik, strategi, dan manipulasi teknologisnya.

Dalam konteks ekonomi terjadi apa yang dinamakan sebagai posekonomi. Fenomena sosial, ekonomi, dan kebudayaan ditandai oleh berbagai peningkatan tempot kehidupan, sebagai akibat dari meningkatnya kecepatan dalam berbagai bidang produksi, konsumsi, tontonan, dan hiburan. Internet dan terutama televisi telah menjelma menjadi kotak jiwa, yang melaluinya manusia abad ke-21 mengisi kehampaan spirtiualnya dengan jutaan citraan semu, rayuan palsu (iklan), televisi menjadi fantasmagoria, yaitu ruang di mana citraan muncul dan menghilang dengan kecepatan tinggi, yang merayu manusia untuk memasuki jaringan ekstasi kecepatan dan kegilaan serta histeria gaya hidup yang diciptakannya. Mal atau hipermarket telah menjelma menjadi agen difusi, ruang kelas, ia tak lagi sekadar tempat transaksi barang dan jasa, tetapi merupakan cermin dari sebuah masyarakat. Tubuh juga menjadi pusat kebudayaan abad ke-21, ia menjadi titik sentral dari mesin produksi, promosi, distribusi, dan konsumsi kapitalisme. Tubuh juga dijadikan sebagai metakomoditi, yaitu komoditi untuk menjual komoditi lain, lewat peran sentralnya dalam sistem promosi kapitalisme tubuh. Di samping itu, ruang sosial global selalu dihuni ole segala macam pergerakan deteritorialisasi yang beroperasi dalam kecepatan tinggi, yaitu pergerakan kapital, industri, gaya dari satu teritorial ke teritorial berikutnya tanpa henti. Pergerakan itu dipengaruhi oleh pergerakan mesin hasrat tanpa henti, hasrat itu sendiri tak lain adalah semacam arus yang selalu bergerak mencari kesenangan baru, kegairahan baru, identitas baru, kenyamanan baru.

Dalam konteks demokratisasi, Yasraf mengungkapkan femonena posdemokrasi, yaitu ketika demokrasi telah terputus sama sekali dengan realitas demokrasi yang sesungguhnya, yaitu demokrasi yang melampaui atau berlangsung hanya pada tingkat citra, akan tetapi terputus dari prinsip demokrasi itu sendiri. Pertama, demokrasi pada tingkat citra menjadikan simulakrum demokrasi (simulacrum of democracy), adalah demokrasi yang menampakkan dirinya pada tingkat citra seakan-akan sebagai kopi (copy) atau ikon (icon) demokrasi, padahal citra tersebut merupakan deviasi, distorsi, bahkan terputus dari realitas yang sesungguhnya. Kedua, posdemokrasi sebagai kondisi tumpang tindihnya prinsip demokrasi dengan prinsip-prinsip lain, seperti anarkisme dan kebebasan mutlak, baik pada tingkat citra maupun tingkat realitas. Konsep-konsep yang membangun demokrasi itu sendiri seperti pluralisme, persamaan, hak asasi manusia, kebebasan berkumpul, bersuara, berserikat, telah berkembang ke titik ekstrimnya, melampaui prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.

Edi Subkhan, penulis...